Penulis: Putu Ayu Suniadewi
Seorang dokter residen berusia 31 tahun dengan inisial PAP, yang merupakan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), telah ditahan oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar). Penahanan ini dilakukan atas dugaan keterlibatan dokter tersebut dalam tindak kekerasan seksual terhadap seorang anggota keluarga pasien yang berada di Rumah Sakit Unggulan Nasional (RSUP) Hasan Sadikin, Bandung.
Kabar penahanan ini dikonfirmasi oleh Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jabar, Komisaris Besar Surawan. Beliau menyatakan bahwa penahanan terhadap tersangka PAP telah dilakukan sejak tanggal 23 Maret 2025. Saat ini, kasus dugaan kekerasan seksual tersebut sedang dalam tahap penyidikan oleh pihak kepolisian untuk mengumpulkan bukti dan keterangan lebih lanjut terkait peristiwa yang terjadi.
Melalui pesan singkat yang disampaikan pada hari Rabu, 9 April 2025, Komisaris Besar Surawan memberikan informasi mengenai perkembangan kasus ini. Sebelumnya, seperti yang dilansir dari kantor berita Antara, beliau juga mengungkapkan bahwa seluruh proses hukum terkait dengan kasus dugaan kekerasan seksual ini telah berjalan secara komprehensif. Pihak kepolisian juga berhasil mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga berkaitan dengan tindak pidana tersebut, termasuk di antaranya adalah obat bius dan kondom.
Penemuan barang bukti berupa obat bius dan kondom oleh pihak kepolisian semakin memperkuat dugaan terjadinya tindak kekerasan seksual dalam kasus ini. Barang-barang tersebut akan menjadi bagian penting dalam proses penyidikan untuk mengungkap secara jelas kronologi kejadian serta peran dari dokter residen PAP dalam dugaan tindak pidana tersebut. Pihak kepolisian akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap barang bukti ini untuk mendapatkan informasi yang lebih detail.
Penahanan seorang dokter residen yang sedang menempuh pendidikan spesialis di universitas terkemuka seperti Unpad tentu menjadi sorotan publik. Kasus ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan dan rumah sakit, tetapi juga menimbulkan keprihatinan mendalam terkait keamanan dan etika profesi di lingkungan pelayanan kesehatan. Kejadian ini menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap segala bentuk pelanggaran, khususnya yang melibatkan tenaga medis dan pasien atau keluarga pasien yang berada dalam posisi rentan.
Proses penyidikan yang sedang berjalan diharapkan dapat mengungkap kebenaran secara menyeluruh terkait dugaan kekerasan seksual ini. Pihak kepolisian akan bekerja secara profesional dan transparan dalam menangani kasus ini, memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dimintai keterangan dan semua bukti yang relevan dikumpulkan. Hasil dari penyidikan ini akan menentukan langkah hukum selanjutnya yang akan diambil terhadap dokter residen PAP, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang dokter residen dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) di lingkungan Rumah Sakit Unggulan Nasional (RSUP) Hasan Sadikin, Bandung, mencuat ke publik melalui platform media sosial. Rangkaian peristiwa yang mengarah pada terungkapnya kasus ini bermula dari sebuah unggahan di akun Instagram yang berfokus pada informasi seputar PPDS, @ppdsgramm. Unggahan tersebut menampilkan tangkapan layar berisi informasi mengenai dugaan tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh dua orang residen anestesi PPDS FK ***** terhadap seorang penunggu pasien dengan menggunakan obat bius. Dalam informasi tersebut juga disebutkan adanya bukti rekaman kamera pengawas (CCTV) yang lengkap, serta adanya tuntutan hukum dari pihak keluarga pasien terhadap kedua residen dan pihak *****.
Tangkapan layar dari unggahan Instagram @ppdsgramm tersebut kemudian dengan cepat menyebar luas setelah dibagikan ulang oleh akun media sosial X @txtdarijasputih. Unggahan ini seketika menjadi viral dan menarik perhatian besar dari para pengguna media sosial, terbukti dengan lebih dari 4,7 juta tayangan, 19 ribu kutipan, dan 89 ribu suka hingga Rabu, 9 April 2025, pukul 14.45 WIB. Tingginya atensi publik terhadap unggahan ini menunjukkan keprihatinan dan keingintahuan yang besar terhadap kasus dugaan pelanggaran etika dan hukum di lingkungan medis.
Lebih lanjut, akun X @txtdarijasputih membagikan rincian kronologi kasus dugaan pelecehan seksual tersebut berdasarkan pesan yang diterima oleh akun Instagram @ppdsgramm. Dalam kronologi yang dibagikan, diceritakan bahwa seorang pasien sedang menjalani perawatan intensif di ruang ICU dan ditemani oleh anak perempuannya. Ketika pasien memerlukan transfusi darah setelah menjalani operasi, pelaku yang diduga merupakan salah satu residen menawarkan proses crossmatch (pemeriksaan kecocokan darah) kepada anak pasien dengan menjanjikan proses yang lebih cepat.
Menurut kronologi yang beredar, anak pasien kemudian dibawa ke gedung MCHC lantai 7, yang digambarkan sebagai gedung baru dengan lantai 7 yang masih dalam keadaan kosong. Di lantai 7 inilah, korban diduga diminta untuk mengganti pakaiannya dengan baju pasien dan dipasangkan akses intravena (IV) dengan zat midazolam, yang merupakan jenis obat penenang. Setelah pemberian obat tersebut, dugaan tindak pelecehan seksual terjadi sekitar tengah malam.
Pelaku disebut menunggu hingga korban sadar dari pengaruh obat. Korban baru tersadar sekitar pukul 4 atau 5 pagi dan terlihat berjalan sempoyongan di lorong lantai 7 gedung MCHC. Setelah sadar, korban mengeluhkan rasa sakit tidak hanya pada bagian tangan bekas infus, tetapi juga pada bagian vitalnya. Merasa ada yang tidak beres, korban kemudian meminta untuk dilakukan pemeriksaan visum kepada dokter spesialis obstetri dan ginekologi.
Hasil dari pemeriksaan visum tersebut mengungkapkan adanya bekas sperma. Lebih lanjut, bekas sperma juga ditemukan berceceran di lantai 7 gedung MCHC, yang kemudian menyebabkan area tersebut dipasangi garis polisi (police line) keesokan harinya. Penemuan bekas sperma ini menjadi salah satu bukti penting yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana pelecehan seksual seperti yang dilaporkan.
Kasus ini semakin menjadi perhatian publik setelah keluarga korban memutuskan untuk mengirimkan informasi mengenai kejadian yang dialaminya kepada akun Instagram @ppdsgramm. Penyebaran informasi melalui media sosial ini kemudian memicu gelombang reaksi dan diskusi di berbagai platform, termasuk X dan Instagram. Kasus ini juga mendapatkan sorotan dari tokoh publik di bidang kesehatan, seperti dokter gigi dan penggiat media sosial Mirza Mangku Anom, yang turut menyuarakan keprihatinannya.
Menanggapi ramainya pemberitaan di media sosial, pihak Universitas Padjadjaran (Unpad) dan RSUP Hasan Sadikin Bandung mengeluarkan keterangan resmi terkait laporan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Unpad. Dalam keterangan tersebut, kedua institusi membenarkan adanya laporan kekerasan seksual terhadap seorang anggota keluarga pasien yang terjadi pada pertengahan Maret 2025 di area rumah sakit.
Sebagai respons cepat terhadap kasus ini, Unpad telah mengambil tindakan tegas dengan memberhentikan tersangka berinisial PAP dari program PPDS. Pihak universitas menjelaskan bahwa sanksi ini dijatuhkan karena tersangka merupakan peserta PPDS yang dititipkan oleh Unpad di RSHS dan bukan merupakan karyawan rumah sakit. Pemberhentian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tersangka telah melakukan pelanggaran etik profesi berat dan pelanggaran disiplin, yang tidak hanya mencoreng nama baik institusi dan profesi kedokteran, tetapi juga melanggar norma-norma hukum yang berlaku.
Unpad dan RSHS secara tegas mengecam tindakan pelecehan seksual tersebut dan berkomitmen untuk mengawal proses pengusutan tindakan PAP secara “tegas, adil, dan transparan” guna memastikan keadilan bagi korban dan keluarganya. Selain itu, kedua institusi juga menyatakan telah memberikan pendampingan kepada korban dalam proses pelaporan kasus ini kepada Polda Jawa Barat, serta mendukung sepenuhnya proses penyelidikan yang sedang dilakukan oleh pihak kepolisian, termasuk pendampingan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar.