Denpasar – Balivrita.com, Gemuruh suara literasi kembali menggema di Pulau Dewata. Acara tahunan “Bali Berkisah” yang berlangsung selama dua hari, Sabtu (22 Maret) dan Minggu (23 Maret) 2025, menjadi panggung bagi para penulis dan pecinta buku untuk berdialog, bertukar ide, dan merayakan karya-karya inspiratif. Tahun ini, sorotan utama tertuju pada isu sensitif dan relevan: patriarki di Bali, khususnya di daerah Tabanan. Melalui karya-karya yang menggugah, para penulis, termasuk Putu Tiwi, membawa isu ini ke permukaan, mengundang diskusi mendalam tentang kesetaraan gender dan peran perempuan dalam masyarakat Bali yang kental dengan tradisi.
Salah satu bintang tamu yang paling dinantikan adalah Putu Tiwi, penulis berbakat yang mengangkat isu patriarki dalam bukunya yang berjudul “Melawan Bahasa Patriarki”. Dalam karyanya, Tiwi dengan lugas menggambarkan realitas kehidupan perempuan Bali yang seringkali terpinggirkan oleh dominasi laki-laki. Ia menyoroti bagaimana tradisi dan adat istiadat, yang seharusnya menjadi penjaga kearifan lokal, justru seringkali menjadi alat untuk melanggengkan ketidakadilan gender. Dalam sesi diskusi yang dipandu oleh seorang moderator, Tiwi berbagi pengalaman pribadinya dan hasil risetnya tentang bagaimana patriarki memengaruhi kehidupan perempuan di Tabanan. Ia menceritakan kisah-kisah perempuan yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasar, seperti pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan berekspresi.
Tabanan, sebuah kabupaten yang terkenal dengan keindahan alamnya, ternyata menyimpan potret buram ketidakadilan gender. Di daerah ini, tradisi patriarki masih sangat kuat mengakar, membatasi ruang gerak dan potensi perempuan. Perempuan seringkali dianggap sebagai “konco wingking” (teman di belakang), yang tugasnya hanya mengurus rumah tangga dan melayani suami. Mereka dianggap tidak memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam mengambil keputusan dan berkontribusi dalam kehidupan publik. Dalam acara “Bali Berkisah”, Tiwi mengajak para peserta untuk merenungkan kembali makna tradisi dan adat istiadat. Apakah tradisi yang kita junjung tinggi benar-benar adil dan membawa kebaikan bagi semua orang, atau justru menjadi penghalang bagi kemajuan perempuan? Dialog antar perempuan menjadi ruang untuk bertukar pikiran dan gagasan sesama perempuan.
Acara “Bali Berkisah” tidak hanya menjadi ajang untuk mengkritisi patriarki, tetapi juga menjadi wadah untuk mencari solusi bersama. Para peserta, yang terdiri dari penulis, akademisi, aktivis, dan masyarakat umum, terlibat dalam diskusi yang hangat dan konstruktif. Mereka berbagi pengalaman, ide, dan gagasan tentang bagaimana cara mengubah paradigma patriarki dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Acara “Bali Berkisah” tahun ini meninggalkan kesan yang mendalam bagi para peserta. Isu patriarki yang selama ini dianggap tabu, akhirnya diangkat ke permukaan dan dibahas secara terbuka. Para peserta pulang dengan membawa harapan baru untuk kesetaraan gender di Bali. Mereka bertekad untuk menjadi agen perubahan, menyebarkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan, dan memperjuangkan hak-hak perempuan. “Bali Berkisah” membuktikan bahwa literasi bukan hanya tentang kata-kata indah, tetapi juga tentang keberanian untuk menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan.
Penulis: Putu Ayu Suniadewi