Sunyi Beda, Namun Maknanya Sama : Sepotong Cerita Merayakan Nyepi Ala Pelajar Bali di Negeri Jiran

Facebook
WhatsApp
Telegram

Dari gemuruh Ogoh-Ogoh di Bali ke riuh Kuala Lumpur, saya dan beberapa kawan yang berasal dari politeknik negeri bali yang pernah menjalani pembelajaran lanjut di MSU Malaysia ternyata bisa menemukan esensi Nyepi di tempat yang tak terduga. Bagi kami sebagai mahasiswa diaspora Indonesia yang double minoritas, baik minoritas sebagai Hindu di tengah masyarakat Malaysia yang mayoritas muslim, dan minoritas sebagai hindu dan bali di tengah diaspora masyarakat Indonesia di Malaysia, merayakan nyepi menjadi tantangan tersendiri tapi dari situlah kami memahami ternyata  “sunyi” tak harus sama persis dengan di kampung halaman. Justru di tanah rantau, saya belajar bahwa refleksi diri dan harmoni dengan perbedaan bisa dirayakan dalam versi yang lebih personal, sekaligus universal.

Di Bali, seminggu sebelum Nyepi, desa ramai dengan pembuatan Ogoh-Ogoh dan ritual Melasti ke pantai. Tapi di Kuala Lumpur, persiapan Nyepi terasa lebih intim. Komunitas Hindu Veda di sini fokus pada yadnya (persembahan) dan diskusi kitab suci. Tanpa parade Ogoh-Ogoh, mereka mengadakan bhajan (nyanyian religius) dan puja di kuil-kuil kecil yang tersembunyi di antara gedung pencakar langit.

Saya dengan rekan – rekan Hindu yang bersama di tanah rantau, tetap melaksanakan kewajiban Tapa Brata Penyepian, dimana kami tidak menyalakan api (Amati Geni), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelanguan (tidak berpergian), dan Amati Lelanguan (tidak menikmati hiburan. Walaupun masih ada aktivitas diluar rumah, kami pun berusaha menyelesaikan segera dan kembali ke rumah melaksanakan Tapa Brata Penyepian. Kami tidak menyalakan listrik, melihat suasana Malaysia di tengah-tengah suasana Nyepi membuat kami rindu untuk mengulang kembali masa – masa melaksanakan Tapa Brata Penyepian di tanah rantauan.

Merindukan Nuansa Nyepi di Tanah Rantau

Hari itu, kami—komunitas kecil umat Hindu di Malaysia—bertekad menjalankan Tapa Brata Penyepian dengan penuh khidmat. Meski jauh dari kampung halaman, semangat Nyepi tak pernah pudar. Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelanguan (tidak bepergian atau hiburan)—semua dijalankan sepenuh hati.

Suasana sepi yang biasa menyelimuti Bali saat Nyepi, kami coba hadirkan di sini. Listrik dimatikan, gadget disimpan, dan aktivitas di luar rumah kami selesaikan secepat mungkin agar bisa kembali ke “pengasingan” sukarela ini. Meski tantangannya berbeda—suara kota yang ramai, tetangga yang lalu-lalang—kami berusaha menciptakan ketenangan sendiri.

Ada rasa rindu yang menggelitik. Betapa indahnya jika bisa merasakan lagi kesunyian khas Nyepi di Bali, di mana alam seolah ikut berhenti sejenak. Tapi justru di rantau inilah kami belajar: Tapa Brata Penyepian bukan tentang lokasi, tapi tentang komitmen. Dimanapun kita berada, semangat Nyepi bisa hidup selama ada niat untuk merenung, menyederhanakan diri, dan menyambut tahun baru dengan hati bersih.

Jadi, buat kalian anak rantau yang kangen suasana Nyepi di rumah, ingat ini: selama ada tekad untuk ngerem sejenak dari dunia luar, merenung, dan menyambut tahun baru dengan hati bersih—di situlah Nyepi terjadi. Sunyi itu nggak harus sempurna, yang penting sincere!

Penulis: Putu Ayu Suniadewi

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *