Desa Industri Kreatif: Kaya Warisan, Miskin Kemajuan? Menyoal Peran Desa Adat dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045

Facebook
WhatsApp
Telegram

Ragam – Balivrita.com, Desa-desa industri kreatif di Indonesia, khususnya yang berbasis adat, menghadapi paradoks besar. Di satu sisi, mereka kaya akan warisan budaya, dari ukiran kayu di Gianyar hingga tenun Klungkung. Namun di sisi lain, kesejahteraan warganya justru jalan di tempat. Produk mereka laris di pasar internasional, tetapi perajin tetap hidup pas-pasan. Investor masuk, tetapi desa adat kehilangan kendali atas asetnya.

Mengapa ini terjadi? Bukankah desa industri kreatif seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi nasional, terutama dalam visi Indonesia Emas 2045? Lalu, bagaimana peran desa adat dalam memastikan bahwa industri kreatif bukan sekadar mesin produksi, melainkan juga jalan menuju kemandirian ekonomi?

 

Dibalik Gemerlap Industri Kreatif: Desa Adat yang Terpinggirkan

Sekilas, desa industri kreatif tampak menjanjikan. Produk lokal semakin dikenal, ekonomi bergerak, dan lapangan kerja tercipta. Tapi realitanya, tak semua desa menikmati manfaat ini. Ada beberapa alasan utama mengapa desa industri kreatif berbasis adat sulit berkembang:

  1. Ketimpangan Rantai Ekonomi

Perajin desa adat sering hanya menjadi produsen di ujung rantai pasok. Produk mereka dijual murah ke tengkulak atau eksportir, lalu dipasarkan dengan harga berkali lipat di luar negeri. Hasilnya? Keuntungan besar tidak kembali ke desa, sementara perajin tetap hidup dalam keterbatasan.

  1. Minimnya Akses Teknologi dan Pasar

Di era digital, pemasaran online seharusnya jadi solusi. Sayangnya, banyak desa adat belum tersentuh teknologi. Infrastruktur internet terbatas, pelatihan digital minim, dan strategi bisnis masih tradisional. Akibatnya, desa industri kreatif tertinggal dalam kompetisi global.

  1. Eksploitasi dan Hilangnya Kontrol Desa Adat

Banyak desa adat kehilangan kendali atas sumber daya mereka. Lahan produktif diambil alih investor, eksploitasi sumber daya terjadi, sementara desa hanya mendapat “remah-remah”. Ini ironis, mengingat desa adat punya sistem tata kelola berbasis kearifan lokal yang seharusnya bisa menjadi benteng ekonomi mandiri.

 

Desa Adat: Pilar Utama atau Sekadar Penonton?

Di Bali, desa adat bukan sekadar komunitas, tetapi juga institusi sosial dan ekonomi. Struktur adat seperti Bendesa (kepala desa adat) dan sistem Krama (warga desa) sudah ada jauh sebelum pemerintah modern terbentuk. Seharusnya, ini bisa menjadi modal besar dalam membangun industri kreatif yang lebih adil dan berkelanjutan.

Namun kenyataannya, desa adat sering kali hanya menjadi “penonton” dalam pembangunan. Keputusan bisnis lebih banyak diambil oleh pemodal besar, sementara desa hanya menerima dampaknya. Padahal, jika diberikan akses dan wewenang yang lebih besar, desa adat bisa berperan sebagai pemegang saham industri kreatif, bukan sekadar pemasok tenaga kerja murah.

 

Solusinya?

  • Desa adat harus terlibat dalam negosiasi dengan investor, memastikan ada pembagian keuntungan yang adil.
  • Produk desa harus memiliki sertifikasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) agar perajin tidak dirugikan.
  • Pemerintah perlu memberikan insentif bagi desa adat yang menerapkan model ekonomi kreatif berbasis adat dan keberlanjutan.

 

Membawa Desa Industri Kreatif ke Panggung Global

Visi Indonesia Emas 2045 berbicara tentang pemerataan ekonomi, pembangunan SDM, dan inovasi teknologi. Desa industri kreatif berbasis adat seharusnya menjadi bagian utama dari strategi ini. Bagaimana caranya?

1.Transformasi Digital

Pemerintah dan swasta harus menyediakan pelatihan digital untuk desa adat. Dari e-commerce, pemasaran media sosial, hingga penggunaan teknologi blockchain untuk melindungi hak cipta produk budaya.

2. Ekonomi Hijau dan Pariwisata Berkelanjutan

Industri kreatif berbasis adat harus selaras dengan prinsip ekowisata dan keberlanjutan. Desa seperti Penglipuran bisa menjadi contoh bagaimana industri dan pariwisata bisa berkembang tanpa mengorbankan warisan budaya dan lingkungan.

3. Pemberdayaan SDM Lokal

Generasi muda desa harus diberi akses pelatihan bisnis, desain produk, dan manajemen industri kreatif agar mereka bisa menjadi pelaku utama, bukan hanya pekerja di tanah sendiri.

Indonesia Emas Dimulai dari Desa

Bali dan desa adatnya adalah cerminan masa depan ekonomi kreatif Indonesia. Jika desa industri kreatif bisa berkembang dengan adil dan berkelanjutan, maka visi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar angan-angan. Tapi jika eksploitasi terus dibiarkan, desa adat hanya akan menjadi saksi bisu dari kemajuan yang tak pernah mereka nikmati.

Saatnya desa adat mengambil peran utama! Industri kreatif berbasis adat harus dikelola dengan pendekatan inklusif, berkelanjutan, dan berbasis digital. Jika ini dilakukan, desa industri kreatif tidak hanya akan bertahan, tetapi juga menjadi kekuatan utama dalam ekonomi nasional.

Indonesia Emas harus dimulai dari desa—karena jika desa gagal maju, bangsa pun sulit melangkah.

Penulis: Putu Ayu Suniadewi

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *